-->

Ukuran Kemiskinan Menurut Sungkowo Edy Mulyono

Ukuran Kemiskinan Menurut Sungkowo Edy Mulyono

Ukuran Kemiskinan

     Sebenarnya kemiskinan bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi kemiskinan adalah sesuatu yang dapat diukur. Menurut Ravallion (2010) ukuran kemiskinan dipertimbangkan berdasarkan pada norma-norma tertentu. Pilihan norma tersebut sangat penting terutama dalam hal pengukuran kemiskinan yang didasarkan konsumsi. Garis kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi (consumption-based poverty line) terdiri dari dua elemen, yaitu:
  1. Pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi minimum dan kebutuhan mendasar lainnya
  2. Jumlah kebutuhan lain yang sangat bervariasi, yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. 
     Bagian pertama relatif jelas. Biaya untuk memenuhi kebutuhan kalori minimum dan kebutuhan lain dihitung dengan melihat harga-harga makanan yang menjadi menu golongan miskin. Sedang elemen kedua bersifat lebih subjektif.
     Cara paling sederhana untuk mengukur jumlah kemiskinan yaitu dengan menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi. cara lain yang lazim disebut dengan Headcount Index ini sangat bermanfaat, meskipun indikator ini sering dikritik, karena mengabaikan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, kesenjangan kemiskinan pendapatan atau proverty gap digunakan untuk mengatasi kelemahan Headcount Index (Meler, 1995). Proverty Gap menghitung transfer yang akan membawa pendapatan setiap penduduk miskin hingga tingkat di atas garis kemiskinan sehingga kemiskinan dapat dikurangi.
     Di Indonesia, Bada Pusat Statistik (2008) biasanya mengeluarkan garis kemiskinan yang disesuaikan dengan wilayah pedesaan dan perkotaan serta kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Studi penentuan kriteria penduduk miskin (SPKPM), untuk mengetahui karakteristik rumah tangga yang mampu mencirikan kemiskinan secara konseptual (pendekatan kebutuhan dasar /garis kemiskinan). Hal ini menjadi sangat penting karena pengukuran makro (basic needs) tidak dapat digunakan untuk identifikasi rumah tangga/penduduk miskin di lapangan. Informasi ini berguna untuk penentuan sasaran rumah tangga program pengentasan kemiskinan. Dari hasil SPKPM 2000, diperoleh enam variabel yang dianggap layak dan operasional untuk penentuan rumah tangga miskin di lapangan. Skor 1 mengacu pada sifat-sifat yang mencirikan kemiskinan dan skor 0 mencirikan ketidakmiskinan kedelapan variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1
Tabel 1.1 Indikator Rumah Tangga Miskin
1. Luas lantai perkapita
- < = 8 m2 (skor 1)
- > = 8 m2 (skor 0)
2. Jenis lantai
- Tanah (skor 1)
- Bukan Tanah (skor 0)
3. Air Minum/Ketersediaan Air Bersih
- Air Hujan/Sumur tidak terlindung (skor 1)
- PAM, Sumur Terlindung (skor 0)
4. Kepemilikan Asset
- Tidak Punya Aset (skor 1)
- Punya Aset (skor 0)
5. Pendapatan (Total pendapatan per bulan)
- < 350.000 (skor 1)
- > 350.000 (skor 0)
6. Pengeluaran (Prosentasi pengeluaran untuk makanan)
- 80 persen + (skor 1)
- <80 persen (skor 0)
Sumber: BPS, 2008, sementara pendapatan* (5), sudah sangat tidak relevan lagi, di tahun 2017 sudah mencapai $2 per hari/orang.
     Cara kedua adalah dengan menyusun indikator komposit. Selain pendapatan atau pengeluaran, indikator komposit biasanya terdiri dari angka melek huruf, angka harapan hidup, atau akses kepada air bersih. Badan dunia yang menggunakan cara kedua adalah UNDP (United Nations Development Programme). Produk UNDP yang dikenal luas untuk mengukur kemajuan dan kemiskinan adalah HDI (Human Development Index) dan HPI (Human Poverty Index) (Indroyono, 2002).
     Adapun ciri-ciri mereka yang tergolong miskin menurut Suharto (2007) sebagai berikut.
  1. Ketidakmampuan memebuhi kebutuhan kondumsi dasar (pangan, sandang dan papan).
  2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi)
  3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga)
  4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal
  5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam
  6. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat
  7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan amta pencaharian yang berkesinambungan
  8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental
  9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tanggam, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).
     Penelitian tentang penyebab kematian yang melibatkan penggunaan indikator komposit pernah dilakukan Tim STKS Bandung dan Depsos RI dengan menggunakan konsep keberfungsian sosial (Suharto, 2007). Konsep ini dirumuskan dalam tiga aspek: kemampuan keluarga miskin memenuhi kebutuhan dasar, menjalankan peran sosial, dan menghadapi goncangan. Berdasarkan penelitian ini, kemudian dikembangkan program anti kemiskinan bernama Pemandirian Masyarakat Terpadu (PEMANDU). PEMANDU terdiri dari program langsung dan tidak langsung. Program langsung diarahkan pada keluarga fakir mskin melalui pemberian modal usaha, bantuan pendidikan, dan tunjangan kesehatan secara simultan. Program tidak langsung difokuskan pada pemda melalui advokasi kebijakan Zona Bebas Fakir Miskin (ZBFM).
     Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang tidak mudah diatasi. Namun, dengan pendekatan yang tepat, kemiskinan akan lebih mudah didekati. Penanggulangan kesmikinan memerlukan pemahaman mengenai dimensi dan pengukuran kemiskinan yang operasional. Setelah kemiskinan  dapat dipotret secara akurat, strategi anti kemiskinan dapat dikembangkan. Strategi anti kemiskinan (PEMANDU) sebaiknya menyentuh pendekatan langsung dan tidak langsung, mikro dan makro, yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan (Indroyono, 2002).
     Dari variabel-variabel kemiskinan tersebut maka dapat dirangkum dalam sebuah Taksonomi Kemiskinan seperti pada Tabel 1.2 berikut ini.
Tabel 1.2 Taksonomi Kemiskinan
Miskin
Struktural
Absolut
Alamiah
Disebabkan tatanan kehidupan tidak menguntungkan
Disebabkan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan pokok minimum
Disebabkan kelangkaan sumber daya alam
Kultural
Relatif
Buatan
Disebabkan faktor adat, budaya yang membelenggu
Disebabkan pengaruh kebijakan pembangunan
Disebabkan munculnya kelembagaan/modernisasi
Sumber: Suyanto (1995), Mas'oed (2003), Mulyono (2014).

Sumber : Buku Kemiskinan Pemberdayaan Masyarakat Karya Dr. Sungkowo Edy Mulyono, S.Pd., M.Si. Tahun 2017.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter